Coretax sebagai Fondasi Pajak Digital Nusantara: Strategi Inovatif untuk Penerimaan Negara Indonesia

Published on: Aug 27, 2025 at 10:57

Coretax sebagai Fondasi Pajak Digital Nusantara: Strategi Inovatif untuk Penerimaan Negara Indonesia

Oleh: Moh. Mustain

 

Memasuki era digital, hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat Indonesia mengalami perubahan besar. Cara kita berkomunikasi, berbelanja, hingga mengatur keuangan kini serba cepat dan praktis berkat teknologi informasi. Perubahan ini juga menyentuh sektor yang sangat vital bagi negara, yaitu perpajakan. Sebagai penopang utama Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), penerimaan pajak kini menghadapi tantangan baru: bagaimana teknologi digital dapat meningkatkan kepatuhan, transparansi, dan pemahaman masyarakat terhadap kewajiban perpajakannya.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebenarnya sudah meluncurkan berbagai terobosan, mulai dari Coretax Administration System, e-filing, e-billing, hingga pelaporan daring. Semua inovasi itu bertujuan memudahkan wajib pajak sekaligus memperkuat sistem administrasi negara. Namun, perjalanan masih panjang. Literasi pajak masyarakat masih rendah, sebagian menganggap sistem perpajakan rumit, dan transaksi digital yang kian marak justru menghadirkan tantangan baru dalam pengawasan.

Bayangkan seorang pelaku UMKM yang baru membuka toko daring. Ia mungkin sudah terbiasa berjualan di marketplace, tetapi belum tentu memahami bagaimana kewajiban perpajakannya berubah. Di sinilah letak tantangan besar: teknologi ada, tetapi pemahaman belum sepenuhnya mengikuti. Karena itu, strategi perpajakan digital di Indonesia tidak bisa sekadar menyalin dari negara lain. Inovasi perlu disesuaikan dengan konteks lokal agar benar-benar menjawab kebutuhan masyarakat.

Ada beberapa masalah mendasar yang harus segera dibenahi. Pertama, tingkat kepatuhan pajak masih rendah. Rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hanya berkisar 10-11%, jauh di bawah rata-rata negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang mencapai lebih dari 30 persen (OECD, 2023). Angka ini menunjukkan masih banyak potensi penerimaan yang hilang.

Kedua, transaksi digital yang semakin kompleks menghadirkan tantangan baru. E-commerce, layanan keuangan digital, hingga penggunaan cryptocurrency membuka peluang ekonomi sekaligus celah dalam hal pemungutan pajak. Sistem pengawasan tradisional belum sepenuhnya mampu mengikuti arus transaksi lintas platform yang begitu cepat.

Ketiga, layanan pajak masih sering dianggap rumit. Banyak masyarakat merasa terbebani oleh prosedur administrasi, sehingga pajak dipandang sebagai beban, bukan kontribusi bagi pembangunan. Padahal, di era digital seharusnya layanan publik bisa dibuat lebih sederhana, transparan, dan ramah pengguna.

Jika menoleh ke praktik global, banyak negara berhasil mengintegrasikan teknologi ke dalam administrasi pajak. Estonia misalnya, dikenal sebagai negara paling digital di dunia. Melalui sistem e-Tax, 95% warganya dapat melaporkan pajak secara online hanya dalam waktu 3-5 menit. Tingkat transparansi yang tinggi membuat kepatuhan pajak meningkat drastis (World Bank, 2022). Singapura mengembangkan MyTax Portal yang terintegrasi dengan data perbankan dan lembaga pemerintah lain, sehingga pelaporan lebih mudah dan praktik penghindaran pajak dapat ditekan. Hasilnya, rasio pajak Singapura mencapai 13,1% (IRAS, 2023), salah satu yang terbaik di Asia Tenggara. Prancis dan Jerman memanfaatkan teknologi big data dan kecerdasan buatan (AI) untuk memantau transaksi digital, termasuk e-commerce lintas negara. OECD mencatat, strategi ini membantu mereka menjaga tax ratio tetap tinggi di atas 24-30% (OECD, 2023).

Indonesia sebenarnya sudah memulai langkah penting melalui Coretax Administration System. Namun, langkah ini perlu diperluas dengan strategi yang lebih berani. Integrasi data nasional berbasis identitas digital, misalnya, dapat dilakukan dengan menghubungkan Nomor Induk Kependudukan (NIK), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), rekening bank, hingga transaksi digital dalam satu ekosistem. Dengan sistem ini, pengisian pajak cukup dilakukan dengan konfirmasi karena data sudah otomatis terisi.

Selain itu, penerapan e-invoicing sebaiknya tidak hanya diwajibkan bagi perusahaan besar, tetapi juga bagi UMKM melalui aplikasi sederhana pada smartphone. Sektor informal bisa dirangkul lewat aplikasi kasir digital gratis yang langsung terhubung dengan sistem pajak. Pemerintah dapat memberikan insentif berupa akses kredit usaha bagi mereka yang patuh. Di sisi lain, Indonesia juga bisa membangun portal pajak terpadu yang tidak hanya menyediakan pelaporan dan pembayaran, tetapi juga edukasi, simulasi, konsultasi daring, hingga fitur gamifikasi agar masyarakat semakin paham manfaat pajak.

Transformasi digital perpajakan akan memberi banyak manfaat nyata. Pertama, masyarakat dapat mengakses layanan lebih cepat dan mudah karena data sudah tersedia otomatis melalui sistem prefill. Kedua, literasi pajak meningkat melalui portal edukasi interaktif yang membuat masyarakat melihat pajak sebagai kontribusi, bukan beban. Ketiga, transparansi meningkat berkat data real-time, sehingga publik tahu ke mana pajak mereka digunakan. Keempat, basis penerimaan meluas karena UMKM dan sektor informal dapat lebih mudah masuk dalam sistem dengan dukungan aplikasi sederhana serta insentif yang relevan.

Untuk memperkuat identitas lokal, Indonesia bisa mengembangkan konsep “Pajak Digital Nusantara”. Ekosistem ini berbasis digital dengan semangat gotong royong. Aplikasi pajak bisa diintegrasikan dengan koperasi dan BUMDes agar kelompok usaha mikro lebih mudah melaporkan pajak. Edukasi dapat dikemas dalam bahasa daerah dan animasi berbasis budaya lokal, sehingga terasa dekat dengan masyarakat. Bahkan, wajib pajak patuh bisa diberikan penghargaan digital yang ditampilkan di marketplace sebagai bentuk apresiasi.

Masa depan penerimaan negara di era digital sangat bergantung pada keberanian melakukan transformasi menyeluruh. Belajar dari praktik global, Estonia dengan e-Tax, Singapura dengan MyTax Portal, hingga Prancis dan Jerman dengan big data dan AI. Indonesia dapat membangun sistem perpajakan yang modern sekaligus inklusif. Dengan memperkuat Coretax, mengintegrasikan identitas digital, memperluas e-invoicing hingga ke UMKM, membangun portal terpadu, serta memanfaatkan kecerdasan buatan, Indonesia bisa mewujudkan Pajak Digital Nusantara.

Tujuan akhirnya bukan hanya meningkatkan penerimaan negara, tetapi juga membangun kepercayaan publik, mendorong kepatuhan sukarela, dan memperkuat literasi masyarakat. Dengan demikian, perpajakan digital akan menjadi simbol gotong royong bangsa dalam membiayai pembangunan dan menapaki jalan menuju Indonesia Maju 2045.

Sumber Referensi :

  • Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (2023). Revenue Statistics 2023.
  • Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2023). APBN Kita.
  • Bank Indonesia. (2023). Laporan Perekonomian Indonesia 2023.
  • (2022). Tax Challenges Arising from Digitalisation.
  • Direktorat Jenderal Pajak (DJP). (2024). Laporan Tahunan 2024.
  • IRAS Annual Report FY2023/24 – Singapore